Selasa, 29 November 2011

AKAL DAN LOGIKA ARISTOTELIAN


Akal sebagaimana kodrat-kodrat lain dalam diri manusia tersusun secara harmonis. Harmonis artinya memiliki prinsip-prinsip dan hukum-hukum tersendiri. Sementara logika adalah disiplin ilmu yang mengkaji prinsip-prinsip dan hukum-hukum tersebut atau yang mengatur cara kerja akal (berpikir) secara tepat berdasarkan sebagaimana mestinya akal tersebut bekerja. Dan jika terjadi kemandekan (stagnasi) cara kerja akal (berpikir), maka logikalah yang datang mengembalikan cara kerja akal (berpikir) kepada koridor yang tepat (baca: aturan berpikir benar). Mungkin kurang lebih mirip dengan disiplin ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran berfungsi sebagai barometer kesehatan manusia, sekaligus menentukan tubuh sakit atau sehat sebagaimana logika pun menginformasikan pikiran sehat atau rancu (kesalahan berpikir).

Bedanya, logika berurusan hal-hal yang metafisika, dan kedokteran berhubungan dengan hal-hal yang fisik. Hal ini tentunya akan membuat logika lebih sulit terdeteksi efeknya atau kegunaannya ketimbang ilmu kedokteran. Jadi sesunguhnya, logika bukanlah sesuatu yang asing bagi akal kita. Sebagaimana kedokteran tidak asing bagi tubuh kita.
Tetapi mungkin anda bertanya, mengapa logika itu intim dengan Aristoteles-Semoga Allah membalas jasanya. Lebih khusus lagi kenapa pada pemikiran Islam logika Aristoeles sangat dominan? Kenapa bukan logika Hegel atau Madilog-nya Tan Malaka? Pertanyaan ini kami akan menjawabnya dengan mengacu pada apa yang pernah di kuliahkan oleh Guru kami YM. YTC. Sayyid Musa Al. Khazim-Semoga Allah membalas jasa-jasanya.Tentunya sebatas apa yang saya pahami. Adapun beberapa analisis dari beliau:

a) Legenda Tentang Aristoteles.

Dalam masyarakat muslim tradisional, Aristoteles (384-322 SM) diyakini sebagai salah seorang Nabi Allah. Karena sebagaimana maklum nabi dalam Islam sebanyak 124 000. Tetapi nabi sekaligus rasul sebanyak 25 orang. Dan Aristoteles termasuk dalam kategori nabi yang bukan rasul. Keyakinan ini berdasarkan pada riwayat dari Rasulullah Saw, yang dikutip dalam banyak kitab sejarah. Adapun riwayatnya; ”Setelah pulang dari kota Alexanderia ‘Amr bin Al-Ash datang menghadap Rasul Saw. Beliau bertanya kepada ‘Amr tentang kesan-kesan perjalanannya ke negeri bersejarah itu. ‘Amr kemudian bercerita bahwa ia melihat suatu kaum yang duduk lesehan melingkar. Mereka menyebut-nyebut dan memuji-muji seorang yang bernama Aristoteles semoga Allah mengutuknya. Nabi SAW pun terkejut dan berkata, “Enyah kamu wahai ‘Amr...! ”Tidakkah kamu mengetahui bahwa Aritoteles adalah seorang Nabi. Tapi umatnya tidak pernah mengubrisnya”
Saya pribadi pun sangat percaya bahwa Aristoteles adalah seorang Nabi. Beliau adalah Nabi-nya logika. Hal ini dapat kita lihat bahwa Aristoteles pun membawa ajaran tauhid. Hal ini dapat anda lihat melalui teori beliau bahwa ada penyebab tanpa sebab, ada penggerak yang tidak bergerak, dan segalanya datang dari aktual murni dan akan kembali pada aktual murni (baca pula: aktus purus). Dan jika anda mengkajinya lebih dalam maka niscaya akan anda dapatkan ketauhidan di dalamnya. Dan sebagaimana maklum, bahwa ciri yang paling jelas dari seorang nabi adalah mengemban misi ketauhidan. Makanya tak heran bagi saya jika Aristoteles digelari mahaguru pertama. Yaitu orang yang menguasai seluruh disiplin Ilmu Primer dijamannya.

b) Logika Paling Orisinil

Orisinal logika Aristotelian dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Antara lain sudut pandang historis yang tidak dapat diragukan lagi. Ibnu Khaldum seorang sejarawan muslim tersohor, pernah mengatakan bahwa Aristoteles adalah orang yang pertama mengumpulkan ceceran orang-orang terdahulunya dalam aturan berpikir benar (logika).
Logika Aristotelian merupakan susunan yang paling orisinal dan komplet lagi komprehensip sepanjang sejarah. Meskipun telah dikiritik berbagai kalangan, utamanya serangan dari Sir Francis Bacon dalam bukunya “The New Organon” atau Rene Descartes dalam “Discourse On Method”. Tetapi tetap saja segar dan selalu segar untuk dijadikan sebagai pengantar terbaik bagi studi logika elementer.
Bahkan Abu Ali Ibnu Sina-Semoga rahmat Allah selalu tercurahkan untuknya. Dengan tegas berkata: “Wahai para pelajar...! Adakah diantara kalian yang pernah menyaksikan seorang yang datang setelah Aristoteles. Yang mampu menambah atau menyanggah sesuatu yang lebih berarti dari logika yang beliau susun. Meski susunan itu sedemikian tuanya? Ketahuilah, apa yang Aristoteles susun adalah susunan yang sempurna, neraca yang tepat, dan kebenaran yang cemerlang”.

c) Momentum Tentang Masuknya Logika Dalam Islam

Sebelum abad pertengahan masehi, alam pemikiran Islam terjangkit wabah. Segala macam pemikiran yang sesat masuk dan segera mendapat pengikut yang banyak. Para pemikir muslim terkemuka berpikir keras untuk menemukan penangkalnya. Mereka mau tak mau, mesti membakukan tatanan berpikir benar. Hunain Bin Ishak-Semoga Allah memposisikannya pada kedudukan para wali-mengambil prakarsa untuk menerjemahkan buku Organon-nya Aristoteles sebagai landasan berpikir benar. Dalam waktu singkat buku tersebut mendapat apresiasi yang luas oleh para pemikir terkemuka dikalangan kaum muslim. Bahkan sebagian dari mereka seperti Al-Kindi, Al Farabi, dan Ibnu Sina, dll, langsung membacanya dalam aslinya. Ibnu Sina dikisahkan telah membaca buku itu sebanyak 60 kali sebelum akhirnya beliau memberikan komentar secara panjang lebar dalam buku-nya Asy-Syifah. Asy-Syifah yang terbagi dalam delapan jilid ukuran yang sangat besar itu adalah elaborasi dari Oraganon. Organon sendiri terdiri dari enam buku besar.

Di Timur maupun di Barat, Ibnu Sina dikenal sebagai komentator terbaik untuk Aristoteles. Swausaha para pemikir muslim untuk mempertahankan dan memurnikan ajaran-ajaran Islam dari beberapa sesat-sesat pikir dengan menerjemahkan risalah-risalah Aristoteles dan menerapkannya dalam kehidupan beragama, patut mendapat acuan jempol. Tetapi meskipun para pemikir yang memiliki itikad baik itu, juga tidak luput dari pengkafiran dari pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab. Tapi itulah yang selalu harus diemban orang yang memilih jalan yang benar. Atau seperti kata Voltaire (1694-1778) orang Perancis yang masyur; “Memilih adalah mengambil resiko”

Dari ketiga argumentasi di atas semakin jelaslah pahaman kita, mengapa di kalangan Muslim logika ala Aristoteles yang lebih mendominasi. (lihat, Bab Logika Aristotelian dalam Kumpulan Logika, Dimitri Mahayana).
Tambahan
Nanti sekitar tiga abad kematian Aristoteles, barulah karya-karya beliau dapat dikumpulkan dalam bentuk yang kita kenal seperti saat ini. Secara garis besar karya Aristoteles dibagi atas dua kelompok. Yakni: Pertama, karya-karya yang ditulisnya untuk dipublikasikan. Kedua, catatan-catatan yang dibuatnya tetapi untuk tidak dipublikasikan ketika memberikan kuliah di Lyceum (Sebuah sekolah yang didirikan oleh beliau). Sungguh menyedihkan untuk ilmu pengetahuan bahwa karya-karya beliau yang penting pada bagian pertama telah musnah semuanya. Sehingga karya Aristoteles yang kita kenal sekarang ini merupakan karya pada kelompok kedua.

Dalam bentuk aslinya, karya-karya ini terpisah-pisah dan terdiri atas ratusan gulungan kuno. Semuanya naskah ini dikumpulkan dari berbagai macam karya yang berbeda oleh Andronikos dari Rhodos yang merupakan pemimpin Lyceum yang terakhir. (lihat, buku 60 menit bersama Aristoteles).

Dalam beberapa daftar kuno dikatakan pula karya Aristoteles berjumlah tidak kurang dari seratus tujuh puluh buku. Dan empat puluh tujuh diantaranya tetap bertahan hingga sekarang. Olehnya tidak ada salahnya saya mengutip beberapa tulisan-tulisan dari beberapa buku Aristoteles sehingga kita juga tahu betapa bermaknanya ucapan beliau. Adapun kutipan tulisan-tulisan itu, sebagai berikut :
“Orang yang mempelajari asal mula segala sesuatunya dan bagaimana akhirnya segala sesuatunya itu bisa ada, tentu akan mencapai hal yang terjernih akan hal itu.” (Politika, 1252a 24-25)
“Siapa pun yang tidak bisa hidup di tengah masyarakat karena telah tercukupi ia pada dirinya sendiri, maka kalau bukan hewan tentulah dia dewa. Dengan demikian, setiap orang memiliki impuls yang kodrati untuk berasosiasi dengan orang lain. Dengan cara ini, sehingga siapa yang pertama kalinya mendirikan masyarakat berkeadilan akan menghasilkan kebaikan tertinggi bagi kemanusiaan.” (Politika 1253a 25-40).
“Kita berperang agar kita bisa hidup dengan damai”. (Ethika Nikhomakea, buku 10).

“Telah menjadi jelas bahwa semua hal itu memiliki penyebab-penyebabnya. Terdapat beberapa jenis penyebab, dan siapa pun yang ingin mengetahui tentang alam selayaknya tahu cara mengungkapkannya. Sebenarnya ada empat jenis penyebab: materi, bentuk, apapun yang menimbulkan perubahan, dan apapun yang menjadi tujuannya. (Physika, 198a 20-24).

“Dengan demikian, gerakan merupakan sesuatu yang abadi. Sehingga jika ada penggerak pertama, maka penggerak itu tentu juga abadi…dan dalam hal ini telah cukup mengatakan hanya ada satu penggerak, yakni yang pertama kalinya menggerakkan segala sesuatu yang tak bergerak. Dan penggerak yang abadi ini tentulah akan menjadi prinsip gerakan bagi segala sesuatu yang lain. (Physika, 259a 7-14)

6. KESIMPULAN.

Ada empat kawasan utama dalam pendidikan menurut Ibnu Sina yang
mempunyai pengaruh besar ialah :
1.falsafah pendidioan yang berkaitan dengan tujuan dan matlamat pendidikan.
2.teori-teori pengetahuan (epistemology)
3.pelaksanaan yang mengandungi perkaedahan, institusi, pentadbiran dan
lain-lain
4.Penilaian.
Juga asas dan tujuan utama pendidikan menurut Ibnu Sina ialah memanusiakan manusia maksudnya manusia sentiasa ada potensi untuk membuat kemajuan bagi diri sendiri baik kalau dihalusi kepasa aspek-aspek yang lebih detil, obyektif pendidikan bermatlamatkan untuk mencapai dan memajukan pelbagai aktifiti, sekoah ataui universiti kita: Persepsi, memori, imaginasi, rasional kemahuan atau rohani, intelektual, walaupun Ibnu Sina kurang memberikan tumpuan dalam kemajuan jasmani justeru perhatiannya lebih dalam perbagai rasional, memori, kemahiran, intelektual, persepsi, rohani dan lain imaginasi. Setengah -setengah tulisan zaman moden tentang pendidikan seperti John P.Wynne dalam bukunya Theories of Education menerangkan bahawa kemajuan-kemajuan fizikal boleh menjadi penghalang kepada pembangunan mental ; sama seperti penekanan Ibnu Sina diatas :

“Pysical development is typically neglected andphysical Activityi is considerd an obstacle to mental development either to be eliminated insofar as possible, or to be tolerated as a necessary relief rather then encouraged for its own sake”.

Mungkin hal ini ada kebenarannya. Oleh itu unsur “ pysical development” ini boleh dicapai dengan hanya berasaskan kepada kegiatan-kegiatan seperti sukan dan riadah sahaja, bukan disusun bersama dalam suatu sistem pendidikan yang ‘standard’.
Dan konsep penilaian yang digunakan adalah luas dan menyeluruh, menyangkut dunia dan akhirat, kerana kriteria yang digunakan adalah kebahagian sebagai peneguhan dan kebahagiaan hanya bernakna kalau dikaitkan dengan kebahagiaan akhirat sebagai tujuan akhir.









Dafftar Pustaka Makalah Sistem Pendidikan Menurut Ibnu Sina
1. Ali Mahdi Khan, the Elements of Islamic philosophy, Lahore : S.H. Muhammad Ashraf, 1973, p.61., lihat juga L.E. Goodman Avicenna, Routledge, London and New York, “ Preface”.
2. Amir A. Rahman, Pengantar Tamadun Islam, Kuala Lumpur, 1990.
3. Erwin I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam : An Introductory Outline, Cambridge h.p., 1968, 142.
4.Ali Mahdi Khan, The Elements of Islamic Philososphy, 61.
5. Hasan langgulung, Pendidikan Islam dan peralihan paradigma, Kualu lumpur,
1995.
6. Mahmood Zuhdi AB. Majid, Sarjana-sarjana kesarjanaan sains Islam,
Kula lumpur ,2000.48-51
7. William E.Gohlman, The Life of Ibnu Sina, 19. sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar