Selasa, 29 November 2011

Sikap Tawasuth Aswaja

A.    PENDAHULUAN
Istilah Ahlussunnah wal Jama'ah (ASWAJA), merupakan gabungan dari tiga kata, yakni Ahl, Assunnah, dan Aljamâ'ah. Secara etimologis, kata ahl (أهل) berarti golongan, kelompok atau komunitas. Etimologi kata assunah (السنّة) memiliki arti yang cukup variatif, yakni: wajah bagian atas, kening, karakter, hukum, perjalanan, jalan yang ditempuh, dll. Sedangkan kata aljamâ'ah (الجماعة) berarti perkumpulan sesuatu tiga ke atas.
Adapun terminologi Ahlussunnah wal Jama'ah, bukan merujuk kepada pengertian bahasa (lughawi) ataupun agama (syar'i), melainkan merujuk pada pengertian yang berlaku dalam kelompok tertentu (urfi). Yaitu, ASWAJA adalah kelompok yang konsisten menjalankan sunnah Nabi saw. dan mentauladani para sahabat Nabi dalam akidah (tauhîd), amaliah badâniyah (syarîah) dan akhlaq qalbiyah (tasawuf). Terminologi istilah Ahlussunnah wal Jama'ah ini didasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa hanya kelompok inilah yang selamat dari 73 perpecahan kelompok umat nabi Muhammad saw.:
والذي نفس محمد بيده لتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة, فواحدة فى الجنة وثنتان وسبعون فى النار, قيل: من هم يا رسول الله ؟ قال: هم أهل السنة والجماعة.
(رواه الطبراني)
Artinya :
Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada dalam genggamanNya, umatku akan bercerai-berai ke dalam 73 Golongan. Yang satu masuk surga dan yang 72 masuk neraka”. Ditanyakan: ”Siapakah mereka (golongan yang masuk surga) itu, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Mereka adalah Ahlussunnah wal Jama’ah”. (HR. Thabrani)
Dengan pengertian terminologis demikian, ASWAJA secara riil di tengah-tengah umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, Ahl Alhadits dengan sumber kajian utamanya adalah dalil sam’iyah, yakni Alqur’an, Assunnah Ijma dan Qiyas. Kedua, para ahl alkalâm atau ahl annadhar (teologi) yang mengintegrasikan intelegensi (asshinâ’ah alfikriyyah). Mereka adalah Asyâ'irah dengan pimpinan Abu Hasan Al'asy’ari dan Hanafiyah dipimpin oleh Abu Manshur Almaturidi. Sumber penalaran mereka adalah akal dengan tetap meletakkan dalil sam’iyyah dalam porsinya. Ketiga, Ahl Alwijdân wa Alkasyf (kaum shufiyah). Sumber inspirasi mereka adalah penalaran Ahl Alhadits dan Ahl Annadhar sebagai media penghantar yang kemudian dilanjutkan melalui pola kasyf dan ilham. Ketiga kelompok inilah yang paling layak disebut ASWAJA secara hakiki.
Di Indonesia, Nahdlatul Ulama merumuskan ASWAJA dengan dua pengertian. Pertama, ASWAJA sudah ada sejak zaman Nabi, sahabat nabi, tâbi'în dan tâbi'în attâbi'în yang umumnya disebut dengan assalaf ashshalih. Pendapat ini didasarkan pada pengertian bahwa ASWAJA berarti golongan yang setia pada Assunah dan Aljamâ'ah, yaitu Islam yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya pada zaman Nabi masih hidup dan apa yang dipraktekkan para sahabat sepeninggal beliau, terutama Khulafa‘ Arrasyidin. Dari pengertian ini, ASWAJA dirumuskan sebagai: kelompok yang senantiasa konsisten dan setia mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah atau jalan para sahabatnya dalam akidah, fiqh dan tasawuf. Kelompok ini terdiri dari para teolog (mutakallimîn), ahli fiqh (fuqahâ’), ahli hadits (muhaditsîn), dan ulama tasawuf (mutashawwifîn).
Kedua, ASWAJA adalah paham keagamaan yang muncul (dimurnikan) setelah Imam Abu Alhasan Al'asy'ari dan Imam Abu Manshur Almaturidi memformulasikan akidah Islam yang sesuai dengan Alqur'an dan Assunnah. Itu sebabnya, kelompok ASWAJA juga disebut sebagai penganut paham Asy'ariyah dan Maturidiyah. Syaikh Murtadla Azzubaidi dalam kitab Al'ittihâf Assâdah Almuttaqîn, Syarah kitab Ihyâ' Ulûmiddîn karya Imam Alghazali menyatakan:

إذا أطلق أهل السنة والجماعة فالمراد بهم الأشاعرة والماتردية

“Ketika diucapkan secara mutlak istilah Ahlussunnah wal Jama'ah, maka yang dikehendaki mereka ialah kelompok penganut paham Al'asy'ari dan Almaturidi.”
KH. Hasyim Asy’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama menandaskan: “Ciri Ahlussunah wal Jama‘ah, adalah mereka yang di bidang tauhid mengikuti Imam Abu Alhasan Al'asy’ari atau Abu Mansur Almaturidi; di bidang fiqh mengikuti madzhab empat: Imam Abi Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i bin Idris atau Ahmad bin Hambal; dan di bidang tasawuf mengikuti ajaran Syaikh Junaid Albaghdadi dan Imam Alghazali.”
Dari terminologi ASWAJA seperti di atas, dapat dimengerti bahwa Ahlussunah wal Jama‘ah merupakan istilah yang terbangun melalui nalar ‘urfi, untuk mencirikan umat Muslim sebagai representasi dari sawâd al'a’dham (kelompok mayoritas) ketika kondisi perpecahan paham merajalela dan dirasa perlu merapatkan barisan dan menyepakati sebuah identititas, sebagai upaya membedakan antara yang haq dan bathil, antara mereka yang teguh mengikuti sunnah dan yang menyimpang dengan berbagai macam bid’ah, sebagaimana yang ditekankan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

قال رسول الله لا يجمع الله هذه الأمة على ضلالة أبدا, قال يد الله على الجماعة فاتبعوا سواد الأعظم فإنه من شذ شذ في النار
Artinya:
Rasulullah saw. bersabda, Allah tidak akan mengumpulkan umat ini dalam kesesatan selamanya. Kekuatan (pertolongan) Allah berada pada kelompok, maka ikutilah kelompok terbesar, karena sesungguhnya seseorang yang mimisahkan diri, ia memisahkan diri ke dalam neraka.
B.     METODOLOGI PEMIKIRAN (MANHAJ ALFIKR) ASWAJA
Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat (islam) ataupun akhlak (ihsan).
Metodologi pemikiran (manhaj alfkr) ASWAJA yaitu
1.    tawassuth yang tengah dan moderat/menghindari segala  bentuk pendekatan dengan tatharruf (ekstrim).
2.    Tawazun yaitu sikap berimbang atau harmoni dalam berkhidmad demi terciptanya keserasian hubungan antar sesame umat manusia dan antara manusia dengan Aalloh swt.
3.    netral atau adil (ta'âdul), dan
4.     toleran (tasâmuh) yaitu sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat.[1] Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim).
Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte Islam lainnya. Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.
C.    TAWASUTH  (MODERAT)
Tawassuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara dan dalam bidang lain, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik)[2]. Sikap ini didasarkan pada firman Allah:


وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Artinya
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143)
Ukuran penilaian dalam ayat diatas dimaksudkan  bahwa rasululloh saw sebagai pengukur umat islam sedangkan umat islam menjadi pengukur bagi manusia pada umumnya.[3]
Menurutnya KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah Waljamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah Waljamaah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.[4]
D.    CONTOH CONTOH SIKAP TAWASUTH
Aswaja juga mengandung ajaran tentang sikap menghargai mayoritas dan perbedaan. Oleh karenanya, NU sebagai penganut Aswaja lebih apresiatif terhadap paradigma demokrasi. Bagi NU, perbedaan di tengah umat merupakan keniscayaan. Karena itu harus disikapi secara arif dengan mengedepankan musyawarah. Tidak boleh disikapi secara radikal dan ekstrem hanya karena keyakinan atas kebenaran sepihak. Dalam Aswaja dikenal dengan prinsip al-Sawad al-A’dham, berdasarkan hadits Nabi: fa idza raiytum ikhtilafan fa’alaykum bi sawad al-a’dzam..(jika kalian menjumpai perbedaan, ikutilah golongan yang terbanyak). Prinsip al-Sawad al-A’dhom ini didasarkan atas asumsi populer sebagaimana dalam hadits: ”La tajtami’u ummati ’ala al-dlalalah” (umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan).
Sikap kemasyarakatan seperti diataslah yang membuat NU dapat diterima dan bekerjasama dengan semua kalangan, baik dalam internal umat Islam, lintas agama dan bahkan dalam hubungan-hubungan internasional. Hal ini dikarena NU mampu menyajikan Islam yang rahmatan lil-’Alamin, ramah, toleran, dan tidak ekstrem.
Seringkali tanpa sengaja dan disengaja seseorang mengucapkan ungkapan yang pada hakikatnya menghina Allah SWT dan Rasul-Nya. Apakah hal itu dapat menggelincirkan keluar dari Dien Islam ? Apakah benar ada yang disebut kufurn amaliy (kekafiran yang disebabkan oleh perbuatan) dan kufurn i’tiqadi (kekafiran yang timbul dari keyakinan) ?
Bukti ini mengupas akar kekafiran, dengan mengemukakan sikap para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah terhadap beberapa jenis kekafiran yang dewasa ini berkembang di masyarakat. Penulis menegaskan, menurut Ahlussunnah, di antara perkataan dan perbuatan ada yang merupakan kufurn akbar (kekafiran yang terbesar) yang mengeluarkan pelakunya dari agama.
“Banyak dari kalangan ulama yang menukilkan ijma’ bahwa menghina Allah dan Rasul-Nya adalah kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari agama. Banyak dari kalangan ulama Ahlussunnah menukilkan ijma’ bahwa kekafiran bisa dilakukan dengan perkataan, perbuatan, dan keyakinan.”[5]
Penulis, mengutip pendapat para ulama Ahlussunnah, menegaskan bahwa orang yang kafir dalam perbuatan dan ucapan, serta menyakini dalam hati tentang hal tersebut, maka ia betul-betul kafir.
Dalam ”Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” (Preambule AD-ART NU) yang ditulis Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari secara tegas terdapat ajakan kepada para ulama Ahl al-Sunnah wal Jama’ah untuk bersatu memagari umat dari propaganda pada ”ahli bid’ah”. Yang dimaksud tentu saja adalah orang-orang pendukung ajaran Wahhabi yang dalam da’wahnya selalu mencela tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, qunut, tawassul dan lain-lain sebagai perbuatan Bid’ah. Selain itu, mereka menganggap kebiasaan-kebiasaan para santri yang lain sebagai sesuatu yang mengandung unsur Tahayyul dan Khurafat. Mereka juga menyatakan bahwa kepengikutan terhadap ajaran madzhab merupakan sumber bid’ah, dan oleh karenanya umat Islam harus berijtihad (ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah)[6]
Pada Munas Alim Ulama di Lombok, dicetuskan bahwa keterikatan terhadap madzhab tidak hanya secara Qawlan (produk yang dihasilkan) saja, tetapi juga Manhajiyyan (metode berpikirnya). Keputusan Ini juga menjadi jawaban atas kritikan bahwa pola bermadzhab dalam tradisi keagamaan NU itu ternyata membuat umat jumud, tidak berkembang.
NU juga telah merumuskan pedoman sikap bermasyarakat yang dilandasi paham Aswaja, yakni Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (serasi dan seimbang), I’tidal (adil dan tegas), dan Amar Ma’ruf Nahy Munkar (menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran).[7]
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ”Ttawasuth Aswaja” oleh NU adalah pola keberagamaan bermadzhab. Pola ini diyakini menjamin diperolehnya pemahaman agama yang benar dan otentik, karena secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan transmisinya dari Rasulullah sebagai penerima wahyu sampai kepada umat di masa kini. Metode ini mempersyaratkan adanya Tasalsul (mata rantai periwayatan).
Selain itu, pola ini mengandung penghargaan terhadap tradisi lama yang sudah baik dan sikap responsif terhadap inovasi baru yang lebih bagus (al-muhafadhoh ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah). Dengan demikian, dalam konteks budaya, Aswaja mengajarkan kita untuk lebih selektif terhadap pranata budaya kontemporer, tidak serta merta mengadopsinya sebelum dipastikan benar-benar mengandung maslahat.[8] Demikian juga terhadap tradisi lama yang sudah berjalan, tidak boleh meremahkan dan mengabaikannya sebelum benar-benar dipastikan tidak lagi relevan dan mengandung maslahat. Sebaiknya tradisi-tradisi tersebut perlu direaktualisasi sesuai dengan perkembangan aktual apabila masih mengandung relevansi dan kemaslahatan.
E.     PRINSIP DAN KARAKTER TAWASUTH
Manefestasi prinsip dan karakter tawasuth ini tampak pada segala bidang ajaran agama Islam dan harus dipertahankan, dipelihara dan dikembangkan sebaik-baiknya,terutama oleh pengikiut setia ASWAJA.
Manifestasi dari prinsip Tawasuth itu antara lain tercermin[9]:
1.      Pada Bidang Aqidah
-          Keseimbangan antara penggunaan dalil aqli (argumentasi rasional) dengan dalil naqli (nash Al Qur’an dan hadits) dengan pengertian bahwa dalil aqli dipergunakan dan ditempatkan dibawah dalil naqli.
-          Berusaha sekuat tenaga memurnikan aqidah dari segala campuran aqidah dari luar Islam
-          Tidak tergesa gesa menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas mereka yang karena satu dan lain hal belum dapat memurnikan tauhid atau aqidah secara murni
2.      Bidang Syari’ah
-          Menggunakan metode dan sisitem yang dapat dipertanggung jawabkan  dan melalui jalur-jalur yang wajar sebelum langsung mengambil dari al Qur’an dan as Sunah
-          Pada masalah yang sudah ada dalil nash yang sarih dan qoth’I (tegas dan pasti) tidak boleh ada campur tangan pendapat akal.
-          Pada masalah yang zaniyat (tidak tegas dan pasti) dapat ditoleransi adanya perbedaan pendapat selama masih tidak bertentangan dengan prinsip agama.
3.      Bidang Tasawuf atau Aklak
-          Tidak mencegah bahkan mengajurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, dengan riyadhah dan mujahadah menurut kaifiyat yang tidak bertentangan dengan prinsip prinsip hokum dan ajaran agama Islam.
-          Mencegah ektrimisme yang dapat menjerumuskan orang kepada penyelewengan aqidah dan syari’ah
-          Berpedoman bahwa akhlak yang luhur dan selalu berada diantara dua ujung sikap yang menjunjung atau tathruf umpamanya: sikap asy-syaja’ah atau berani yang merupakan langkah tengah antara penakut(al-jubn) dan sembrono (at-tahawwur).Demikian pula sikap at-tawadhu’ yang merupakan sikap menempatkan diri secara tepat diantara at-takabbur (sombong) dan at-tadzallul atau (rendah dir)i.pun juga sikap al jud atau al karomu (dermawan) sebagai jalan tengah diantara sikap bakhil (kikir) dan israf(boros)
4.      Bidang Mu’asyarah (pergaulan) antar golongan
-          Mengakui watak dan tabi’at manusia yang selalu senang berkelompok berdasar atas dasar unsure pengikatnya masing masing.
-          Pergaulan antar golongan harus diusahakan berdasar saling pengertian dan saling menghormati.
-          Permusuhan terhadap suatu golongan hanya boleh dilakukan terhadap golongan yang nyata; memusuhi agama dan umat  Islam.Terhadap yang tegas memusuhi Islam tidak ada sikap lain kecuali tegas
5.      Pada Bidang Kehidupan Bernegara
-          Negara nasional yang didirikan bersama oleh seluruh  rakyat wajib dipelihara dan dipertahankan dan dipertahankan eksistensinya.
-          Penguasa Negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng, dan atau atau memerintah kearah yang bertentangan dengan hokum dan ketentuan Alloh swt.
-          Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, memperingatkannya adalah melalui tata cara yang sebaik baiknya.
6.      Pada Bidang Kebudayaan
-          Kebudayaan, termasuk didalamnya adat istiadat, tata pakaian, kesenian dan sebagainya adalah hasil budi daya manusia yang harus ditempatkan pada kedudukan  yang wajar bagi pemeluk agama.Kebudayaan harus dinilai dan diukur dengan norma-norma hokum dan ajaran agama.
-          Kebudayaan yang baik, dalam arti menurut norma agama, dari manapun datangnya dapat diterima dan dikembangkan dengan prinsip hal lama yang baik dipelihara dan dikembangkan, sedangkan yang baru dan lebih baik untuk dicari dan dimanfaatkan. al-muhafadhoh ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah
-          Tidak boleh ada sikap apriori, selalu menerima yang lama dan menolak yang baru atau sebaliknya selalu meneriama yang baru dan menolak yang lama.
7.      Pada Bidang Dakwah
-          Berdakwah adalah mengajak masyarakat untuk membuat dan menciptakan keadaan yang lebih baik, terutama menurut ajaran agama.Tidak mengkin orang berhasil mengajak seseorang dengan cara yang tidak mengenakan hati yang diajak.Berdakwah bukan menghukum
-          Dakwah dilakukan dengan saran tujuan yang jelas, tidak hanya sekedar mengajak berbuat saja.
-          Berdakwah harus dilaksakan dengan keterangan yang jelas, dengan petunjuk-petunjuk yang baik sebagaimana seorang dokter atau perawat berbuat terhadap pasien.Kalau terdapat kesulitan, makaharus ditanggulangi dan diatasi dengan cara yang sebaiik baiknya.
8.      Pada Bidang Lain
-          Pada bidang bidang lain pun tetap di terapkan dan mengejawantahkan tawasuth.
F.     PENUTUP
Dengan mencermati sejarah kemunculan ASWAJA, memahami doktrin ajarannya yang mencakup trilogi keagamaan (islam, iman dan ihsan) serta menghayati metodologi pemikirannya (manhaj alfikr), kita bisa maklum bahwa paham ASWAJA merefleksikan perilaku keagamaan yang kâffah (holistis dan totalitas), yang melibatkan aspek eksoteris dan esoteris (lahir dan batin).
Paham ASWAJA meyakini bahwa yang tahu persis tentang bentuk dan sirri syari’ah hanyalah Allah swt., yang selanjutnya diberitahukan kepada Rasulullah melalui wahyu secara sirri pula. Kemudian Rasulullah mempraktekkan syari’ah tersebut diikuti oleh para sahabat, diteruskan kepada tâbi’în dan tâbi’ attâbi’in (salaf ashshâlih) dengan cara yang sama, sampai kepada para ulama dan umat secara keseluruhan, sambung-sinambung sampai hari ini. Hanya dengan jalan merujuk kepada generasi awal (salaf ashshâlih) itulah ajaran Islam dapat dijamin otentisitasnya. Hanya paham yang memiliki akidah, amaliah dan akhlaq sesuai dengan akidah, amaliah dan akhlaq salaf ashshâlih itulah yang berhak mengaku sebagai sekte ASWAJA.
Hakikat kebenaran menurut ASWAJA adalah kebenaran yang bersumber pada wahyu. Kebenaran wahyu bersifat mutlak, sedangkan kebenaran yang dihasilkan akal pikiran bersifat nisbi dan relatif. Mengintegrasikan antara aql (rasionalitas) dan naql (wahyu), berarti dalam memahami dan mengamalkan agama harus menggunakan segala sumber dan potensi, baik berupa wahyu maupun akal. Keduanya harus digunakan secara seimbang dan proporsional (tawâzun). Sebab wahyu tanpa akal mustahil dapat dimengerti, demikian juga akal tanpa wahyu mustahil mengetahui syari’ah sesuai yang dikehendaki Allah.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, jelas bahwa metodologi pemikiran (manhaj alfikr) paham ASWAJA yang moderat, berimbang, adil, netral dan toleran, merupakan nilai-nilai ideal dan luhur untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, adil dan sentosa, yang menghindari sikap dan tindakan-tindakan destruktif yang merusak dan mengancam tatanan kehidupan dan kedaulatan Indonesia sebagai bangsa dan negara.
Persaudaraan universal dalam manhaj alfikr ASWAJA yang meliputi persaudaraan sesama umat Islam, persaudaraan sesama anak bangsa, persaudaraan sesama manusia, merupakan nilai-nilai humanis untuk memungkinkan umat Islam menjalankan tugas sebagai khalifah dalam membangun peradaban madani di muka bumi. Wa Allahu A'lam.
 
DAFTAR PUSTAKA
·         Adien Jauharuddin, Ahlussunah wal Jama’ah Manhajul Harakah, (Jakarta: PMPI, 2008)
·         H Soelaman Fadeli,Antologi NU (Surabaya,Khalista;2008)
·         KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah waljamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999),
·         KH Muchit muzadi,NU dalam prespektif sejarah dan ajaran, (Surabaya:khalista,2007)


[1] H Soelaman Fadeli,Antologi NU (Surabaya,Khalista;2008) hlm 13
[2] http://www.facebook.com/topic.php?uid=82847570775&topic=16306&post=85421
[3] KH Muchit muzadi,NU dalam prespektif sejarah dan ajaran, (Surabaya:khalista,2007),hlm 69
[4] KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah waljamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999), hlm 4
[5] http://hasanahmuslim.com/2009/10/31/at-tawasuth-wal-iqtishad.html
[6] http://alfarabi1984.wordpress.com/2010/11/
[7] Adien Jauharuddin, Ahlussunah wal Jama’ah Manhajul Harakah, (Jakarta: PMPI, 2008), hlm.98
[8] Adien Jauharuddin, Ahlussunah wal Jama’ah Manhajul Harakah, (Jakarta: PMPI, 2008), hlm. 114
[9] KH Muchit muzadi,NU dalam prespektif sejarah dan ajaran, (Surabaya:khalista,2007),hlm 71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar