A.
PENDAHULUAN
Istilah
Ahlussunnah wal Jama'ah (ASWAJA), merupakan gabungan dari tiga kata, yakni Ahl,
Assunnah, dan Aljamâ'ah. Secara etimologis, kata ahl (أهل) berarti golongan, kelompok atau
komunitas. Etimologi kata assunah (السنّة) memiliki arti yang cukup variatif, yakni:
wajah bagian atas, kening, karakter, hukum, perjalanan, jalan yang ditempuh,
dll. Sedangkan kata aljamâ'ah (الجماعة) berarti perkumpulan sesuatu tiga ke atas.
Adapun
terminologi Ahlussunnah wal Jama'ah, bukan merujuk kepada pengertian bahasa
(lughawi) ataupun agama (syar'i), melainkan merujuk pada pengertian yang
berlaku dalam kelompok tertentu (urfi). Yaitu, ASWAJA adalah kelompok yang
konsisten menjalankan sunnah Nabi saw. dan mentauladani para sahabat Nabi dalam
akidah (tauhîd), amaliah badâniyah (syarîah) dan akhlaq qalbiyah (tasawuf).
Terminologi istilah Ahlussunnah wal Jama'ah ini didasarkan pada sebuah hadits
yang menyatakan bahwa hanya kelompok inilah yang selamat dari 73 perpecahan
kelompok umat nabi Muhammad saw.:
[1]
[2]
[3]
Menurutnya KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah Waljamaah adalah orang-orang
yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan
yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan
toleransi. Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus diletakkan secara proporsional,
yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah
manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para
muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan
relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian,
hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah Waljamaah sebagai manhaj al-fikr adalah
produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang
melingkupinya.[4]
D.
CONTOH CONTOH SIKAP TAWASUTH
Aswaja juga mengandung ajaran tentang sikap menghargai mayoritas dan
perbedaan. Oleh karenanya, NU sebagai penganut Aswaja lebih apresiatif terhadap
paradigma demokrasi. Bagi NU, perbedaan di tengah umat merupakan keniscayaan.
Karena itu harus disikapi secara arif dengan mengedepankan musyawarah. Tidak
boleh disikapi secara radikal dan ekstrem hanya karena keyakinan atas kebenaran
sepihak. Dalam Aswaja dikenal dengan prinsip al-Sawad al-A’dham, berdasarkan
hadits Nabi: fa idza raiytum ikhtilafan fa’alaykum bi sawad al-a’dzam..(jika
kalian menjumpai perbedaan, ikutilah golongan yang terbanyak). Prinsip al-Sawad
al-A’dhom ini didasarkan atas asumsi populer sebagaimana dalam hadits: ”La
tajtami’u ummati ’ala al-dlalalah” (umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan).
Sikap kemasyarakatan seperti diataslah yang membuat NU dapat diterima dan
bekerjasama dengan semua kalangan, baik dalam internal umat Islam, lintas agama
dan bahkan dalam hubungan-hubungan internasional. Hal ini dikarena NU mampu
menyajikan Islam yang rahmatan lil-’Alamin, ramah, toleran, dan tidak ekstrem.
Seringkali tanpa sengaja dan
disengaja seseorang mengucapkan ungkapan yang pada hakikatnya menghina Allah
SWT dan Rasul-Nya. Apakah hal itu dapat menggelincirkan keluar dari Dien Islam
? Apakah benar ada yang disebut kufurn amaliy (kekafiran yang disebabkan oleh
perbuatan) dan kufurn i’tiqadi (kekafiran yang timbul dari keyakinan) ?
Bukti ini mengupas akar kekafiran,
dengan mengemukakan sikap para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah terhadap beberapa
jenis kekafiran yang dewasa ini berkembang di masyarakat. Penulis menegaskan,
menurut Ahlussunnah, di antara perkataan dan perbuatan ada yang merupakan
kufurn akbar (kekafiran yang terbesar) yang mengeluarkan pelakunya dari agama.
“Banyak dari kalangan ulama yang
menukilkan ijma’ bahwa menghina Allah dan Rasul-Nya adalah kekafiran yang
mengeluarkan pelakunya dari agama. Banyak dari kalangan ulama Ahlussunnah
menukilkan ijma’ bahwa kekafiran bisa dilakukan dengan perkataan, perbuatan,
dan keyakinan.”[5]
Penulis, mengutip pendapat para ulama
Ahlussunnah, menegaskan bahwa orang yang kafir dalam perbuatan dan ucapan,
serta menyakini dalam hati tentang hal tersebut, maka ia betul-betul kafir.
Dalam ”Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah”
(Preambule AD-ART NU) yang ditulis Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari secara
tegas terdapat ajakan kepada para ulama Ahl al-Sunnah wal Jama’ah untuk bersatu
memagari umat dari propaganda pada ”ahli bid’ah”. Yang dimaksud tentu saja
adalah orang-orang pendukung ajaran Wahhabi yang dalam da’wahnya selalu mencela
tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, qunut, tawassul dan lain-lain
sebagai perbuatan Bid’ah. Selain itu, mereka menganggap kebiasaan-kebiasaan
para santri yang lain sebagai sesuatu yang mengandung unsur Tahayyul dan
Khurafat. Mereka juga menyatakan bahwa kepengikutan terhadap ajaran madzhab
merupakan sumber bid’ah, dan oleh karenanya umat Islam harus berijtihad (ruju’
ila al-Qur’an wa al-Sunnah)[6]
Pada Munas Alim Ulama di Lombok, dicetuskan bahwa keterikatan terhadap
madzhab tidak hanya secara Qawlan (produk yang dihasilkan) saja, tetapi juga
Manhajiyyan (metode berpikirnya). Keputusan Ini juga menjadi jawaban atas
kritikan bahwa pola bermadzhab dalam tradisi keagamaan NU itu ternyata membuat
umat jumud, tidak berkembang.
NU juga telah merumuskan pedoman sikap bermasyarakat yang dilandasi paham
Aswaja, yakni Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (serasi dan
seimbang), I’tidal (adil dan tegas), dan Amar Ma’ruf Nahy Munkar (menyeru
kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran).[7]
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ”Ttawasuth Aswaja” oleh NU adalah
pola keberagamaan bermadzhab. Pola ini diyakini menjamin diperolehnya pemahaman
agama yang benar dan otentik, karena secara metodologis dapat
dipertanggungjawabkan transmisinya dari Rasulullah sebagai penerima wahyu
sampai kepada umat di masa kini. Metode ini mempersyaratkan adanya Tasalsul
(mata rantai periwayatan).
Selain itu, pola ini mengandung penghargaan terhadap tradisi lama yang
sudah baik dan sikap responsif terhadap inovasi baru yang lebih bagus
(al-muhafadhoh ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah).
Dengan demikian, dalam konteks budaya, Aswaja mengajarkan kita untuk lebih
selektif terhadap pranata budaya kontemporer, tidak serta merta mengadopsinya
sebelum dipastikan benar-benar mengandung maslahat.[8]
Demikian juga terhadap tradisi lama yang sudah berjalan, tidak boleh meremahkan
dan mengabaikannya sebelum benar-benar dipastikan tidak lagi relevan dan
mengandung maslahat. Sebaiknya tradisi-tradisi tersebut perlu direaktualisasi
sesuai dengan perkembangan aktual apabila masih mengandung relevansi dan
kemaslahatan.
E.
PRINSIP DAN KARAKTER TAWASUTH
Manefestasi prinsip dan karakter tawasuth ini tampak pada segala bidang ajaran
agama Islam dan harus dipertahankan, dipelihara dan dikembangkan
sebaik-baiknya,terutama oleh pengikiut setia ASWAJA.
Manifestasi
dari prinsip Tawasuth itu antara lain tercermin[9]:
1. Pada
Bidang Aqidah
-
Keseimbangan antara penggunaan dalil aqli (argumentasi
rasional) dengan dalil naqli (nash Al Qur’an dan hadits) dengan pengertian bahwa
dalil aqli dipergunakan dan ditempatkan dibawah dalil naqli.
-
Berusaha sekuat tenaga memurnikan aqidah dari segala
campuran aqidah dari luar Islam
-
Tidak tergesa gesa menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan
sebagainya atas mereka yang karena satu dan lain hal belum dapat memurnikan
tauhid atau aqidah secara murni
2. Bidang
Syari’ah
-
Menggunakan metode dan sisitem yang dapat dipertanggung
jawabkan dan melalui jalur-jalur yang
wajar sebelum langsung mengambil dari al Qur’an dan as Sunah
-
Pada masalah yang sudah ada dalil nash yang sarih dan
qoth’I (tegas dan pasti) tidak boleh ada campur tangan pendapat akal.
-
Pada masalah yang zaniyat (tidak tegas dan pasti) dapat
ditoleransi adanya perbedaan pendapat selama masih tidak bertentangan dengan
prinsip agama.
3. Bidang
Tasawuf atau Aklak
-
Tidak mencegah bahkan mengajurkan usaha memperdalam
penghayatan ajaran Islam, dengan riyadhah dan mujahadah menurut kaifiyat yang
tidak bertentangan dengan prinsip prinsip hokum dan ajaran agama Islam.
-
Mencegah ektrimisme yang dapat menjerumuskan orang
kepada penyelewengan aqidah dan syari’ah
-
Berpedoman bahwa akhlak yang luhur dan selalu berada
diantara dua ujung sikap yang menjunjung atau tathruf umpamanya: sikap
asy-syaja’ah atau berani yang merupakan langkah tengah antara penakut(al-jubn)
dan sembrono (at-tahawwur).Demikian pula sikap at-tawadhu’ yang merupakan sikap
menempatkan diri secara tepat diantara at-takabbur (sombong) dan at-tadzallul
atau (rendah dir)i.pun juga sikap al jud atau al karomu (dermawan) sebagai
jalan tengah diantara sikap bakhil (kikir) dan israf(boros)
4. Bidang
Mu’asyarah (pergaulan) antar golongan
-
Mengakui watak dan tabi’at manusia yang selalu senang
berkelompok berdasar atas dasar unsure pengikatnya masing masing.
-
Pergaulan antar golongan harus diusahakan berdasar
saling pengertian dan saling menghormati.
-
Permusuhan terhadap suatu golongan hanya boleh
dilakukan terhadap golongan yang nyata; memusuhi agama dan umat Islam.Terhadap yang tegas memusuhi Islam
tidak ada sikap lain kecuali tegas
5. Pada
Bidang Kehidupan Bernegara
-
Negara nasional yang didirikan bersama oleh
seluruh rakyat wajib dipelihara dan
dipertahankan dan dipertahankan eksistensinya.
-
Penguasa Negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan
pada kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng, dan atau
atau memerintah kearah yang bertentangan dengan hokum dan ketentuan Alloh swt.
-
Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah,
memperingatkannya adalah melalui tata cara yang sebaik baiknya.
6. Pada
Bidang Kebudayaan
-
Kebudayaan, termasuk didalamnya adat istiadat, tata
pakaian, kesenian dan sebagainya adalah hasil budi daya manusia yang harus
ditempatkan pada kedudukan yang wajar
bagi pemeluk agama.Kebudayaan harus dinilai dan diukur dengan norma-norma hokum
dan ajaran agama.
-
Kebudayaan yang baik, dalam arti menurut norma
agama, dari manapun datangnya dapat diterima dan dikembangkan dengan prinsip
hal lama yang baik dipelihara dan dikembangkan, sedangkan yang baru dan lebih
baik untuk dicari dan dimanfaatkan. al-muhafadhoh ’ala al-qadim al-shalih wa
al-akhd bi al-jadid al-ashlah
-
Tidak boleh ada sikap apriori, selalu menerima
yang lama dan menolak yang baru atau sebaliknya selalu meneriama yang baru dan
menolak yang lama.
7.
Pada Bidang Dakwah
-
Berdakwah adalah mengajak masyarakat untuk
membuat dan menciptakan keadaan yang lebih baik, terutama menurut ajaran
agama.Tidak mengkin orang berhasil mengajak seseorang dengan cara yang tidak
mengenakan hati yang diajak.Berdakwah bukan menghukum
-
Dakwah dilakukan dengan saran tujuan yang jelas,
tidak hanya sekedar mengajak berbuat saja.
-
Berdakwah harus dilaksakan dengan keterangan yang
jelas, dengan petunjuk-petunjuk yang baik sebagaimana seorang dokter atau
perawat berbuat terhadap pasien.Kalau terdapat kesulitan, makaharus
ditanggulangi dan diatasi dengan cara yang sebaiik baiknya.
8.
Pada Bidang Lain
-
Pada bidang bidang lain pun tetap di terapkan dan
mengejawantahkan tawasuth.
F.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
·
Adien Jauharuddin, Ahlussunah wal Jama’ah
Manhajul Harakah, (Jakarta: PMPI, 2008)
·
H Soelaman Fadeli,Antologi NU
(Surabaya,Khalista;2008)
·
KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah waljamaah
dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999),
·
KH Muchit muzadi,NU dalam prespektif sejarah dan
ajaran, (Surabaya:khalista,2007)
[1] H Soelaman
Fadeli,Antologi NU (Surabaya,Khalista;2008) hlm 13
[2] http://www.facebook.com/topic.php?uid=82847570775&topic=16306&post=85421
[3] KH
Muchit muzadi,NU dalam prespektif sejarah dan ajaran,
(Surabaya:khalista,2007),hlm 69
[4]
KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah waljamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta:
LKPSM, 1999), hlm 4
[5] http://hasanahmuslim.com/2009/10/31/at-tawasuth-wal-iqtishad.html
[6] http://alfarabi1984.wordpress.com/2010/11/
[7]
Adien Jauharuddin, Ahlussunah wal Jama’ah Manhajul Harakah, (Jakarta: PMPI,
2008), hlm.98
[8]
Adien Jauharuddin, Ahlussunah wal Jama’ah Manhajul Harakah, (Jakarta: PMPI,
2008), hlm. 114
[9] KH
Muchit muzadi,NU dalam prespektif sejarah dan ajaran, (Surabaya:khalista,2007),hlm
71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar